Ketungau Tesaek, De Ketungau-Dayaks van Sekadau

Sekadau,Ketungau Tesaek,Ketungau,van Loon,Sungai Sekadau,Kecuai,Ndai Abang, Paulus Subarno, Ayoung Tao

Orang-orang Ketungau Tesaek Sekadau dalam seni dan upacara.

SEKADAU NEWs Etnis apa salah satu yang dominan di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat? 

Salah satunya: Ketungau Tesaek. Bagaimana asal usul? Juga migrasi sub-rumpun Iban ini?

Berbagai variasi penyebutan, tapi; Ketungau Tesaek yang pas

Ketungau Tesaek adalah identitas atau nama suatu klan/komunitas di antara 151 subsuku Dayak yang tersebar di Kalimantan Barat.  Dalam karya Sujarni Alloy, Albertus, dan Chatarina  Pancer Istiany (Institut Dayakologi, 2008), Ketungau Tesaek menjadi pokok kajian yang ditulis sebagai “Ke- tungau Sesae’” (Alloy, Albertus, dan Istiany, 2008: 210) dengan kode peta persebaran dan peta 59.

Pengkodean tersebut penting untuk membedakannya dengan Ketungau sebagai nama geografi yang terdapat di wilayah Kabupaten Sintang, atau subsuku Ketungau yang ditengarai terbagi dalam 12 anak sub- suku, yakni:

  1. Ketungau Air Tabun
  2. Ketungau Banjur,
  3. Ketungau Bagelang,
  4. Ketungau Demam,
  5. Ketungau Embarak,
  6. Ketungau Kumpang,
  7. Ketungau Mandau,
  8. Ketungau Merakai,
  9. Ketungau Sebaru,
  10. Ketungau Sekalau,
  11. Ketungau Sekapat, dan
  12. Ketungau Senangan.

Ketungau Sesae’ dalam publikasi hasil penelitian tersebut, mengacu kepada suatu klan/komunitas yang terkonsentrasi persebarannya di Kecamatan Sekadau Hulu, Kecamatan Sekadau Hilir, dan sebagian kecil bermukim di Belitang Hilir. Komunitas ini tersebar di lebih dari 70 kampung dengan populasi sekitar 30.000 jiwa.

Artinya, populasi Ketungau Tesaek adalah 7,1% dari total populasi penduduk Kabupaten Sekadau yang berjumlah 215.316 jiwa. Suatu jumlah yang sebenarnya cukup signifikan sehingga diperhitungkan keberadaannya dari berbagai aspek, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

Tesaek Jalae Ne Menjadi Ketungau Tesaek Bukan: Ketungau Sesae’ 
Dalam publikasi hasil penelitian Alloy, dkk. tersebut, mereka mengacu kepada suatu klan/komunitas yang terkonsentrasi persebarannya di Kecamatan Sekadau Hulu, Kecamatan Sekadau Hilir, dan sebagian kecil bermukim di Belitang Hilir. Komunitas ini tersebar di lebih dari 70 kampung dengan populasi sekitar 30.000 jiwa. Artinya, populasi Ketungau Tesaek adalah 7,1% dari total populasi penduduk Kabupaten Sekadau yang berjumlah 215.316 jiwa.

Suatu jumlah yang sebenarnya cukup signifikan sehingga diperhitungkan keberadaannya dari berbagai aspek, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sementara itu, Jakob Markan, seorang guru yang menggubah lagu dan syair lagu “Ndai” Abang mencatat sebagai “tesaek”, yang mengacu ke tersesat arah jalan, sedemikian rupa, sehingga berbalik lagi ke muara sungai Sekadau, dan rombongan terus menyusur Sungai Kapuas makin ke hulu hingga menemukan betang Ketungau. Sementara di dalam penuturan sehari-hari, kita kerap mendengar penamaan: Ketungau Sesat, Ketungau Tesat, Ketungau Sesae’, dan sebagainya.

Ditengarai bahwa berbagai variasi untuk mengacu ke satu subjek atau entitas itu terkait dengan dialek masing-masing penutur, meskipun maksudnya sama. Maka berangkatlah mereka dengan menggunakan sampan dan rakit. Menyusuri Sungai Kapuas yang lebar, namun makin ke hulu semakin mengecil. 

Setelah beberapa minggu berdayung, akhirnya mereka sampai di muara sealir sungai. Persebaran Ketungau Tesaek Seperti juga halnya peta persebaran suku-suku Dayak yang dibuat Nieuwenhuis (1894), demikian pula halnya persebaran komunitas/klan Ketungau Tesaek hari ini, 50 tahun atau seabad kemudian.

Dinamika dan perubahan sosial senantiasa lebih cepat dari apa yang bisa didokumentasikan oleh manusia. Apakah dengan demikian, peta lantas tidak berguna? Atau bahkan mis-lead? Sesuatu yang hanya menyesatkan? Di sanalah sejarah menemukan fitrahnya. Dari lima tugas, fungsi sejarah, yakni bahwa sejarah adalah Historia vero testis temporum (sejarah adalah saksi zaman) dan Lux veritatis (sinar kebenaran).”

Tesaek jalae ne (perjalanan), bukan hidup

Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok yang “Tesaek jalae ne” tidak sudi lagi mengikuti Ndai Abang kembali ke muara Sungai Sekadau. Untuk seterusnya, mereka mudik Sungai Kapuas ke Sungai Ketungau dan membangun pemukiman baru.

Mereka mendiami wilayah yang tersebar di Kampung Empetai, Tapang Mudai, Sumpit, Menanik, dan Engkedang (wilayah Kecamatan Belitang Hilir), di Selimus dan sebagian di SP IV Tigur Jaya (Kecamatan Sekadau Hilir). Demikian seperti yang terekam oleh Kunjan dan Pinson (2004). Dari Buah Kana setempat, diketahui bahwa warga yang mendiami kampung-kampung tersebut meru- pakan pecahan dari dua kelompok besar.

Kelompok yang pertama adalah warga yang mudik melalui Sungai Merbang di bawah pimpinan seorang tokoh bernama Punuk, sedangkan kelompok lainnya adalah yang mudik melalui Sungai Ayak di bawah pimpinan Amuk. 

Sementara rombongan yang mudik melalui Sungai Ayak ini pernah menetap di nanga (muara) sungai dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, baru mencari tempat pemukiman yang baru (Kunjan dan Pinson, 2005: 7-8).

Pada saat ini, persebaran orang Ketungau Tesaek dapat dibedakan menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama adalah perkampungan yang murni dibangun oleh orang Ketungau Tesaek, jumlah- nya ada 64 kampung.

Kelompok kedua adalah perkampungan yang dibangun oleh orang Ketungau Tesaek bersama-sama dengan Dayak yang lain seperti Mualang, Jangkang, Kerabat, Benawas, Sekujam, Seberuang, dan Ot Da- num. 

Apabila menggunakan Sungai Kapuas (Batang La- wai) sebagai pembagi, maka di area Barat (Matahari Padam) ada 39 kampung, di area Timur (Matahari Tumueh) ada 31 kampung. 

Orang Ketungau Tesaek saat ini berbahasa dengan dua dialek besar, yaitu dialek Sungai Dayak yang dominan berbunyi O ketika mengucapkan sejumlah kata, misalnya: balo, namo, samo, tigo, belanyo, dan benuo.

Kemudian, dialek Sungai Kedah yang dominan berbu- nyi A ketika mengucapkan sejumlah kata misalnya: bala, nama, sama, tiga, dan belanya. Dialek berbunyi O paling banyak digunakan. Penuturnya tersebar di Sekadau Hulu, Sekadau Hilir, Kapuas (Sanggau), dan Belitang Hilir yang menem- pati sekitar 54 pemukiman. 

Sementara, dialek berbunyi A hanya digunakan di 16 kampung, khususnya di perkampungan Ketungau yang leluhurnya berasal dari kawasan Sungai Kedah. Penutur dialek A berasal dari Sungai Kedah. 

Meskipun memiliki sejarah dan adat-istiadat yang sama seperti Ketungau Tesaek yang lain, mereka lebih mengindentifikasikan diri sebagai orang Kedah. Satu-satunya budaya orang Kedah yang tidak terdapat pada Ketungau lain adalah ngumpatn pala kabak (memberi makan kepala kayau) di hari pertama gawai. 

Orang Kedah memiliki budaya kayau seperti halnya kaum Iban di tempat lain. Mereka masih menyimpan 14 tengkorak kepala kayau itu di Lebak Kapae. Jika dicermati secara saksama, para penutur dialek bunyi huruf O sekurang-kurangnya terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok pertama bermukim di Kecamatan Sekadau Hulu, Kecamatan Kapuas (Sanggau), dan Kecamatan Sekadau Hilir di kawasan Jalan Rawak dan Jalan Sanggau, serta di Sungai Melas.

Kelompok kedua menetap di Kecamatan Sekadau Hilir, khususnya ke arah Jalan Sintang. Kelompok ketiga membangun pemukiman permanen di Belitang Hilir, khususnya di kawasan Sungai Merbang. 

Perbedaan dialek pada ketiga kelompok ini yaitu pada intonasi dan ayunan saat mereka mengucapkan suatu kata, yang terkadang hanya dipahami oleh orang-orang yang memahami bahasa Ketungau Tesaek. Orang Ketungau berbaur dan berbatas dengan berbagai subsuku Dayak.

  1. Di kawasan Sungai Melas, mereka berbatasan dengan Benawas, Senganan (kelompok Iban yang beragama Islam), dan Jangkang.
  2. Di kawasan Sungai Kedah, mereka berbatasan dengan Jangkang, Mualang, dan Senganan.
  3. Di Kawasan Sungai Merbang, mereka berbatasan dengan Mualang, Jangkang, dan Senganan.
  4. Di kawasan Jalan Sintang, mereka berbatasan dengan Desa, Seberuang, Sekujam, Benawas, dan Kerabat.
  5. Di kawasan Kapuas (Sanggau), mereka berbatasan dengan Pompakng dan Senganan.
  6. Di Jalan Sintang, mereka berbatasan dengan Bena- was dan Senganan.
  7. Di Sekadau Hulu, mereka berbatasan dengan Kerabat, Jawatn, dan Benawas. Pergaulan dengan subsuku Dayak yang berbeda tentu saja mempengaruhi pengetahuan gaya berbahasa.

Paulus Subarno, Ketua Perkumpulan Ayoung Tao (Ketungau Tesaek).

Demikianlah peta persebaran Ketungau Tesaek pada saat narasi ini ditulis dan dipublikasikan. Salah satu penduduk asli wilayah Sekadau sejak zaman semula jadi yang kini populasinya cukup signifikan.

Saat ini Ketua Perkumpulan Komunitas /Klan Ketungau Tesaek adalah Paulus Subarno. Ia giat merekat kaumnya. Untuk bersekutu dan bekerja sama, bahu-membahu membangun negara dan bangsa. Bukan hanya sebatas untuk suku bangsa Ketungau Tesaek saja, tetapi melampaui batas negeri. (Masri Sareb Putra)

LihatTutupKomentar
Cancel