Migrasi Suku Bangsa Iban dalam 3 Musim

Tampun Juah,Iban,Staken,Batang Lawai,Labai Lawai,van Loon,Migrasi,Kecuai,Sungai Sekadau,Ndai Abang,Sungai Kapuas


Peta 3 musim migrasi suku bangsa Iban. Google/ diolah kembali secara kreatif.

SEKADAU NEWs : Migrasi suku bangsa Iban sungguh unik. Cukup berbeda dengan migrasi suku bangsa lainnya di muka bumi ini.

Mengapa demikian? 

Hal itu karena beberapa sebab. Akan tetapi, sebelum tiba kepada "mengapa" Iban migrasi dari Tampun Juah, ada baiknya kita melihat sekilas latar yang menjadi depan (fore-shadowing) migrasi orang Iban. 

Dalam buku Borneo: Oerwoud in ondergang culturen op drift (Rijksmuseum voor Volkenkunde, 1986) karya Jan B. Ave dan Victor T. King telah memberi clue mengenai “Dayak”, selain oleh kontroler Banjarmasin, J.A. von Hogendorf (1757). 

Kedua penjelajah lintas-Borneo menyebut “Land Dayak” bagi penduduk asli yang bermukim dari Pontianak hingga ke perbatasan dengan Sarawak, Malaysia. 

Land Dayak - pewaris tanah Dayak

Dikemukakan dalam buku itu bahwa kelompok Iban, Maloh, Kantuk, Taman dan Mendalam-Kayan yang bermukim di sekitar Sungai Kapuas, Tebidah, Sintang, Limbai, Melawi, Ot Danum disebut sebagai “Land Dayak” –mengacu ke istilah Belanda, binnenland. Yang secara harfiah berarti: pemangku, pemilik, pewaris sah suatu tanah/ wilayah; mereka dari sini dan di tempat ini; tidak dari mana pun juga. 

Maka dalam literatur berbahasa Belanda, kerap Dayak disepadankan dengan "binnenlander", yang di dalam khasanah ilmiah (studi etnologi) disebut dengan "autokton" sebagai lawan dari "allokton" (Bdk. Bakker,1971 Agama Asli Indonesia). 

Dengan demikian, "sudah selesai" debat tentang keaslian Dayak sebagai penghuni asli bumi Borneo. Sulit kiranya melawan opini umum yang melekat-kuat termasuk di kalangan ilmuwan untuk tidak mengatakan bahwa Dayak tidak penduduk asli. 

Dunia mengakui Dayak sebagai indigenous people of Borneo, masa' kita dalam narasi ini mendekonstruksi hasil konstruksi sosial dunia mengenai Dayak sebagai pemangku asli yang pertama dan utama pulau terbesar ketiga dunia yang luasnya 743.330 km².

Kiranya karya para pelancong dan peneliti Barat yang kita baca dan dapat diakses tidak mencatat secara detail migrasi setiap suku bangsa di Borneo. Mereka tertarik garis besarnya saja untuk menemukan "sifat dan ciri-ciri khusus" penduduk Borneo berdasarkan kesamaan tertentu. 

Tentu saja, tujuannya untuk berbagai kepentingan. Misalnya, untuk memudahkan memilah-milah penduduk. Untuk mengetahui karakter dan sifatnya agar mudah dikuasai. Dan untuk berbagai kepentingan kolonial, misalnya Dr. Nieuwenhuis (1894) untuk memetakan kekayaan botani, flora, dan fauna Borneo. 

Maka berjumpalah kita dengan penggolonggan dan pemilahan sukubangsa Dayak oleh kontroler Malinckrodt, Stohr, dan Duman yang dianggap orisinal, sumber primer. Kemudian beberapa peneliti dan penjelajah lain, seperti Nieuwenhuis membuat peta persebaran orang Dayak ketika itu. 

Akan tetapi, langka adanya monograf dan hasil penelitian para penjelajah dan penulis asing tempo dulu yang menulis migrasi suku Dayak.(Maka kita sendirilah yang wajib meneliti, menulis, dan mempublikasikannya).

Migrasi adalah suatu peristiwa yang niscaya dalam sejarah kehidupan dan peradaban umat manusia sejak zaman baheula. Perpindahan orang/ suatu kaum dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk menetap, entah secara permanen entah sementara di lokasi baru. 

Angka yang dirilis oleh Bank Dunia mencatat hal yang demikian ini. Jumlah imigran: 215,8 juta atau sekitar 3,2% populasi dunia. 

Persentase migran internasional di seluruh dunia meningkat sebesar 33% dengan 59% dari migran menargetkan daerah-daerah maju. 

Hampir separuh dari migran ini adalah perempuan. Suatu fenomena baru yang merupakan salah satu perubahan pola migran paling signifikan dalam setengah abad terakhir.

Menarik untuk menelusuri: Bagaimana pola, atau musim, Migrasi kaum Iban dari Tanah Semula Jadi (Tampun Juah)? 

Alasan migrasi

Di mana-mana, di seluruh dunia, alasan migrasi berbagai-bagai sebab. Namun, agaknya mensia Iban berbeda. Oleh sebab kondisi tidak aman Negeri Tampun Juah akibat serangan musuh 3 kali, dengan modus yang berbeda.

Kita dapat membaca, dari teks sejarah, yang berikut ini:

berengkah ari Tembawai Bejuah ke endor terubah kitai mensia beserara enggau sida Keling.… Anak mensia apin maioh mangkang menoa tu. Samina sabuah aja rumah orang di Munggu Bejuah ba manoa ke ngalih ari sepiak kena pegai Indonesia. Munggu Bejuah tu semak Betang Kepuas, tanah kiba’ mudik (Ballai, 1967: 1).

Artinya: ....berangkat dari Tembawai Bejuah menuju ke ujung terubah kita manusia bersaudara dengan Keling dan kawan-kawan.… Anak-anak manusia banyak yang mencari tempat ini. Hanya ada satu rumah orang di Munggu Bejuah di mana saat ini adalah wilayah Indonesia. Munggu Bejuah adalah dekat dengan Betang (sungai) Kapuas, tanah yang jauh ke utara.

Muncul pertanyaan: Mengapa suku bangsa Iban migrasi? Ketika masa migrasi inilah --menurut studi interteks-- manusia berpisah dari Keling dan Kumang (beserara enggau sida Keling). Keling dan Kumang pergi ke "dunia atas", dunia khayangan Pangau Libau. Yang oleh beberapa peneliti ditafsirkan sebagai "dunia dewa", namun izinkan saya menafsirkannya sebagai kembali ke asal mula segala kehidupan. 

Ruh nenek moyang masih ada, spiritnya tinggal tetap di dunia, bagai keyakinan bahwa mereka (leluhur) masih menyertai dan siap datang jika dipanggil sewaktu-waktu. 

Dalam keadaan genting pun (perang misalnya); leluhur siap untuk dipanggil diminati bantuan. Bahkan salah satu ritual orang Des'a (salah satu Ibanik grup di Sekadau) dikenal "ngumbai Keling Kumang" yakni upacara memanggil (kembali) Keling Kumang. 

Asalan pindah/migrasi dari Tampun Juah

Keyakinan yang dianut turun temurun, dan sangat sulit untuk dipatahkan --oleh sebab itu, jika berbeda, dianggap salah setidaknya nyleneh-- adalah tiga alasan migrasi orang Iban dari Tampun Juah yang berikut ini:

  1. Diserang “musuh gelap”, roh halussetiap kali menanak nasi, tidak dapat dikonsumsi. Hal ini menjadi pertanyaan, mengapa nasi bisa bau busuk (kotoran manusia), sehingga tidak dapat dimakan. Tentu ada penyebabnya: siapa? mengapa? 
  2. Kulatjamur ditanam dan disebar di ladang dan dimakan pendudukMereka keracunanmiringtidak saling mengerti bahasa satu sama lain. Peristiwa tidak saling memahami satu bahasa dan bahasa lain, padahal sekampung ini, mengingatkan kita akan peristiwa "Menara Babel". Suatu metafora yang sungguh amat dalam yang memerlukan pendalaman sekaligus penafsiran yang tidak mudah untuk menyelami maknanya (sensus plenior) di balik kisah peristiwanya.
  3. Musuh gelap mengotori setiap tempat di Tampun Juah. Sedemikian rupa, sehingga Tampun Juah tidak lagi layak untuk dihuni karena selain kotor, tidak nyaman, sekaligus tidak aman. Maka tidak bisa lain pilihan kecuali migrasi!

Siapa Musuh gelap? Di sini saya cukup berbeda dengan para peneliti yang lain. Pada umumnya mereka "menerima begitu saja" secara harfiah, cerita kisah itu. Tanpa berusaha dan mau menafsirkan bahwa "musuh gelap" adalah metafora. Mengapa? Sebab pada zaman dahulu kala, orang tua mengatakan dengan tidak mengatakan.

Ada hal-hal tabu untuk secara nyata dikisahkan kepada anak-anak. Tentu dengan pertimbangan yang matang. Salah satunya adalah malabencana, atau peristiwa traumatik, yang dapat mengguncang jiwa suatu kelompok/ klan dalam waktu yang lama. Yang pada akhirnya menjadi "luka sosial", atau peristiwa tragis yang mengguncang menjadi trauma.

Maka izinkan saya untuk menafsirkan secara hermeneutika "musuh gelap" yang dimaksudkan dalam konteks migrasi suku bangsa Iban dari Tampun Juah.

Penampakan situs Tampun Juah pada ketia ini.

Dalam perspektif sejarah dan inter-teks diketahui bahwa Borneo pada sirka waktu itu merupakan wilayah Feudatori dari suatu wilayah imperium Kerajaan Majapahit. Mereka (para penakluk dari Majapahit) menyusur wilayah berangkat dari Betang Lawai (Sungai Kapuas) di Sukadana dan Suka Lanting (wilayah Ketapang). 

Labai Lawai, tempat ini awalnya hanyalah bagian dari Tanjung Pura. Namun, sejak Prabu Jaya memindahkan pusat pemerintahan ke Sukadana antara abad ke-14 atau ke-15; Labai Lawai menjadi bandar yang sangat ramai. 

Narasi-narasi lisan orang Ketungau Tesaek, yang kemudian dituliskan Jakob Markan memindahkan realitas besar ke dalam teks lagu "Ndai Abang" menggambarkan bahwa Labai Lawai dikuasai dan diperintahkan para keturunan dari kerajaan Majapahit. Labai Lawai adalah Batang/ Sungai Kapuas yang dimaksudkan. 

Labai Lawai menjadi sangat populer. Labai Lawai dikenal oleh penjelajah Eropa yang berupaya menemukan tempat berdagang. Namun, hanya Lawai yang tercatat dan itu adalah pelabuhan di kawasan Tanjung Pura. Orang-orang asing pencatat Lawai antara lain; Pires, Lach, Bakker, Blame, Ras, King, Dunselman, Loon, dan Pigafetta.

Ditengarai "musuh gelap" ini adalah para penakluk suruhan, atau utusan Majapahit yang berusaha menaklukkan penduduk dan klan di Borneo, termasuk di Tampun Juah. 

Sungai Tampun Juah yang ribuan tahun silam dikisahkan dapat dilayari kapal besar dari berbagai penjuru mata angin. Lebarnya 3 kali batang kelapa.

Waktu itu Tampun Juah disebut perkampungan Dayak yang sangat besar. Terbesar perkampungan (rumah panyai) suku Iban. Yang di sebelahnya rumah panjang suku lain, kecuali suku Kanayatn yang yakin bahwa asal mereka bukan dari Tampun Juah, melainkan dari Gunung Bawakng. Saya menafsirkan "musuh gelap" adalah serangan dan penaklukan dari prajurit-prajurit Majapahit yang hendak menguasai tanah dan penduduk lokal Borneo ketika itu.

Migrasi kaum Iban dalam 3 musim

Atas serangan bertubi-tubi itu para tetua bepekat (musyawarah). Keputusan hasil permufakatan adalah bahwa: penduduk harus meninggalkan Tampun Juah. Maka direncanakan perpindahan itu, yang kemudian oleh kita dan para ahli disebut dengan "migrasi". 

Migrasi kaum Iban ini terbagi dalam 3 musim, yakni:

  1. Kelompok migrasi pertama: menyusuri betang aik Kepuas ke muara sungai Ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas huluDalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini dipercaya an terpecah dan membentuk kelompokkelompok atau sub- subIban (Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan membangun tata penghidupan yang baru.
  2. Kelompok kedua migrasi menyusuri aliran betang aiKepuas, lalu masuk sungai Ketungau, dan menetap di situ pada sepanjang sungai Ketungau yang kemudian membentuk kelompok-kelompok kecil, antara lain: Bugao, Banyur, Tabun dan lain-lain.
  3. Kelompok ketiga migrasi, yang terakhir, migrasi dari Tampun juah (karena ada halangan yakni ada yang melahirkan), tersesat di muara sungai Sekadaudisebut Ketungau TesaekKetungau Tesaek dikodekan dengan 059. Sedangkan Ketungau pada migrasi yang kedua ini kodenya: 058.(Alloy, Albertus, dan Istiany (2008).

Interteks yang mendukung migrasi ketiga --yang menjadi Ketungau Tesaek-- adalah peneliti dan penulis asal Belanda, seorang misionaris. Ia mendapat bahan dari wawancana langsung dengan para tetua, selain mendengar langsung penuturan semalam suntuk hingga tujuh hari tujuh malam lamanya dari penutur lamgsung Buah Kana. 

Tentang pertemuan pemimpin migrasi Ketungau Tesaek dari Batang Lawai di Sukalanting yang menyusul saudaranya dari Tampun Juah, disebutkan demikian:

Tenslotte gingen ook wij op zoek naar een beter woongebied. Degenen die vóór ons waren weggetrokken, zouden tekens achterlaten om ons de weg te wijzen. Op de plaats waar de Sai uitmondt de Ketungau staken zijn een stok schuin in de river om aan te geven dat wij stroomopwarrts verder moesten trekken. Maar toen wij daar aankwamen, had het zwaar geregend en de snelstromende rivier had de stok in de andere richting schuin gezet. Zozijn wij hier terecht gekomen en hebben wij kontakt met onze voorgangers verloren (van Loon, 1992, hlmn. 5-6).

Terjemahannya:
Pada akhirnya, kelompok migrasi terakhir itu pun mencari kawasan pemukiman yang lebih baik. Kelompok yang telah pergi sebelumnya meninggalkan staken (kecuai/tanda) untuk menunjukkan jalan ke mana harus menuju. Di tempat keluarnya Sai, patok Ketungau adalah tongkat yang dimiringkan ke sungai untuk menandakan bahwa rombongan terus ke hulu. Namun sesampainya di sana hujan turun dengan derasnya dan arus sungai yang berarus deras membuat tongkat miring ke arah lain. Demikianlah cara orang Ketungau Tesaek bermukim tepian Sungai Sekadau dan sekitarnya sebab mereka kehilangan kontak dengan pendahulu.

Ndai/Nai/ Indai Abang versi Ketungau Tesaek ini adalah pesaling, bukan nama sebenarnyaKetungau Tesaek tahu nama aslinya dari penelusuran Kana diketahui bernama Balun BalunanBalun Balunan adalah bini Apai Abang bernama Pantai Pejawan.

Muara Sungai Sekadau, yang jatuh ke badan Batang Lawai (Sungai Kapuas), tempat staken/ kecuai Ndai Abang ditancapkan.

Demikian migrasi kaum Iban terjadi. Tentu ini versi Indonesia sejauh didukung oleh teks dan inter-teks. Terbuka untuk verifikasi lebih lanjut dari siapa pun. Dengan tentunya menyertakan novum serta berbagai dokumen yang meyakinkan.

Sebagai peneliti dan penulis, kita harus siap untuk diverifikasi. Kita berterima kasih untuk masukan yang konstruktif dari mana pun. Di dalam menulis sejarah, salah bisa diperbaiki dan dibetulkan atau dikoreksi kemudian. Akan tetapi, berbohong dalam menulis sejarah, adalah sesuatu yang tabu.

Maka tidak ada fraksi-fraksi (potongan) sejarah yang salah. Yang ada ia belum utuh. Dengan demikian, menulis sejarah --seperti topik kita ini-- bagai membawa potongan puzzle ke atas meja. Bagian-bagian kecil, potongan sejarah itu, kita susun susun sesuai dengan bagian dan waktunya. Sedemikian rupa, ketika sudah lengkap semua potongan itu, baru jelas big picture-nya.

3 hal wajib sejarah

Dalam riset penulisan sejarah, maka 3 hal wajib patut saling terkait dan dapat untuk dibuktikan, yakni:

  1. Siapa tokoh/ pelaku sejarah itu?
  2. Bila dan di mana setting-nya (waktu dan tempat)
  3. Bagaimana/ seperti apa peristiwanya?

Tidak dapat membuktikan ke-3 hal di atas, jangan pernah (berani) mengatakannya sebagai "sejarah".

Dalam narasi ini, kita cukup yakin kisah migrasi orang Iban dari Tampun Juah sebab teks dan inter-teks mendukungnya. Cerita lisan dan tullisan, diklopkan, disatukan dalam sebuah meja-bedah bersama. Sedemikian rupa, sehingga potongan-potongan sejarah yang tercerai berai oleh waktu dan tempat; dapat disusun dan disatukan kembali.

Meski belum purna mencapai kepenuhan gambar besarnya yang utuh, namun sensus plenior atau hakiki dari fusi horizon telah memangkas jarak hermeneutika masa lampau dan masa kini. Iban Summit II telah memangkas gap antara the past and the present, memotong kurva antara the known and unknown. 

Penulis di situs bersejarah Tampun Juah.
Demikianlah lingkaran hermeneutika bekerja. Tidak mudah, tetapi bisa. Untuk itu, diperlukan sebuah meja-bedah bersama, yang mempertemukan apa yang Dr. Stefanus Masiun katakan sebagai pertemuan ilmuwan "kampung dan kampus" di mana tradisi lisan (kampung, penutur, pemangku ilmu hidup yang diwariskan secara turun temurun) dan para akademikus dari perguran tinggi; bertemu, berdiskusi, dan saling koreksi memberi masukan, sekaligus verifikasi. Sedemikian rupa, sehingga sejarah yang ditulis dan dihasilkan bukan sekadar his story (kisahnya seseorang), melainkan sungguh history (sejarah) sosial suatu kaum itu sendiri.

Kita pun, yang mewakili sukubangsa Iban, dalam Iban Summit II di Tapang Sambas 24-25 Maret 2023, mengakui kebenaran kisah migrasi ini. Mengakui pula bahwa hanya ada satu iban. 

Ketika Iban Summit II dipergelarkan mana saja suku yang menjadi rumpun Iban: ada 24 jumlahnya. Ini adalah up-date terakhir pemetaan, secara menyeluruh, sukubangsa Iban : asal mula, migrasi, persebararan, dan pembagiannya. Juga masih bisa dipetakan di mana tempat tinggal suku bangsa yang diakui memiliki wilayah kerajaan sendiri dari dulu hingga kini enggau diberi nama: Buah Main.

Dengan demikian, "kebenaran" adalah tunggal. Bahwa kemudian ada beberapa versi, itu adalah bias dari kebenaran yang tunggal itu.

Agaknya, setiap klan/ kelompok rumpun Iban perlu menggali, meneliti, menulis, dan mempublikasikan monograf sukunya sendiri. Seperti Ketungau Tesaek. Namun, pakem dan big picture-nya tetap dalam bingkai besar rumpun Iban secara keseluruhan. (Masri Sareb Putra)

LihatTutupKomentar
Cancel