Ngumbai Keling Kumang di Tapang Sambas

Kumang, Keling, ngumbai, upacara, Sekadau, Iban,

 

Ritual Ngumbai Keling Kumang di kantor pusat CU Keling Kumang, Tapang Sambas.

Subuh jatuh, dinihari tadi.

Penanda waktu tepat menunjukkan pukul 06.00.

Ada upacara rutin tahunan Ngumbai Keling Kumang. Ia ritual adat bukan biasa, namun ada sedikit magisnya. Meski bukan okultisme (berhala); lebih pada pelestarian adat budaya saja.

Bereribu sayang. Ini masa pandemi Covid-19. Sehingga upacara ritual budaya hanya dihadiri petinggi Keling Kumang Grup saja dan orang sekitar. Biasanya, datang tamu dari mancanegara, terbanyak dari Malaysia.

Saya narasikan filosofi dan adat budaya serta kepercayaan masyarakat Iban di balik upacara ritual adatnya.

Menembakkan senjata lantak tanda memanggil.

 
Embun bersemayam pada ujung daun, dan masih menyisakan basah atas rerumputan.

Cuaca dingin. Kabut tipis, warna putih, masih meningkap daerah Tapang Sambas. Sekitar 17 km dari Sekadau, Kalimantan Barat arah jalan ke Sintang.

Di ufuk timur, tampak seberkas sinar kuning keemasan menggarisi tubir langit. Di atas cakrawala, bertasburan bintang-bintang terang yang makin dipucatkan oleh benderang. Pucuk-pucuk pohon tapang seperti patung kaku di tepi ladang. Dan bulan hilang ditelan oleh cahaya kuning keemasan menyala dari ufuk timur yang menyibak pagi kembali.

Terdengar bunyi gong bertalu-talu, ditingkah suara cepat dan sedang. Telinga yang biasa mendengar, itu bukan bunyi biasa. Bukan isyarat darurat memanggil berkumpul segera datang seluruh warga. Tidak pula bunyi pesta, apalagi upacara balian.

Bunyi gong tandai datangnya tamu dari langit

Bunyi gong yang ditabuhkan tiga kelompok penabuh itu adalah memanggil datang semua warga untuk berkumpul segera di rumah punjung. Karena warga sepenuhnya mengerti suara, juga satwa-satwa termasuk kelelawar yang liar, anjing-anjing tak sudi menyalakkan ketakutan. Mereka tak pernah takut akan orang mati, tapi takut pada orang hidup. Karena itu, untuk menjaga kampung, mereka dirikan pantak-pantak untuk tolak bala.

Dan kini mereka mendirikan sebuah rancak, yang diberi nama “Rancak Sempoyong” di ruai yang sengaja dibangun untuk Keling yang jumlah anak tangganya berbilang 19.

“Mensia Iban tak pernah mati. Mereka tetap hidup di alam keabadian, di sebayan. Hidup bukanlah dilenyapkan, melainkan hanya diubah,” jelas Kerius Kerja (84 tahun), sang pemimpin upacara. “Hari ini kami memanggil datang Keling dan Kumang. Persiapan sudah dari kemarin sore dan tadi malam. Hewan kurban berupa ayam dan babi telah kami sembelih. Darahnya merupakan kurban silih, darah pembersihan. Dagingnya melambangkan kehidupan,” lelaki yang mulai digaris dengan kerut tua di seluruh muka itu berkata.

Dan kini mereka mendirikan sebuah rancak, yang diberi nama “Rancak Sempoyong” di ruai yang sengaja dibangun untuk Keling yang jumlah anak tangganya berbilang 19.


Gong terus berbunyi. Betalu-talu. Ditingkah suara-suara bertanya, sekaligus heran. Di zaman now, masih ada sisa orang yang piawai bebiau. Dengan selingan nyanyian dan irama suara, dilafalkan dalam bahasa Desa yang sangat fasih lagi halus. Indah sekali pilihan kata-katanya sebagai sajak, berakit-rakit kait berkait bagai silogisme antara sampiran dan isi.

Tapi suasana magis terasa lebih dominan daripada keindahan mendengar bunyi syair dan mantra, membuat berdiri bulu roma, sebab sesekali suara pemimpin upacara tersekat di kerongkongan, seakan ada yang menahan pita suaranya sehingga menggetarkan. Vibrasi seperti merdu suara burung-burung ketupung dan bunyi srag burung begurak.

Siapa yang telah menahan? Kekuatan dari alam gaib, yang tak tampak, padahal ia sudah datang, tapi tak dilihat orang, dan hanya belum menginjak anak tangga pertama.

Bunyi gong bertalu-talu, seakan gendang hanya buat yang datang, dan makin lama makin mempercepat tingkah suaranya. Tangan-tangan para penabuh makin lekas memukul meski pemiliknya tak merasa itu tangannya sendiri sebab ringan dibawa oleh arus bunyi.
***
SEKONYONG-KONYONG gulita....

Dan matahari seperti ditelan gerhana. Padahal baru saja langit Tapang Sambas merah merona diliput kilatan silau dari arah timur yang garang meski Januari biasanya.

Tak lama kemudian, anak tangga pertama yang menganga itu gemetar. Hujan telah membasahi mereka. Mungkin itu pertanda undangan dari alam gaib itu tiba, tapi para penembak jitu belum memuntahkan sendawa-sendawa yang dipadatkan oleh sempalan halus terbuat dari kulit kayu.

Senapan lantak bikinan pandai besi kampung itu mengarahkan ujung moncongnya ke udara, tak satu pun peluru bersarang di dalamnya, tapi bunyi suara yang ditimbulkannya mengalahkan sejuta meriam kompeni pada zaman kolonial Hindia Belanda.

“Coba dengar,” kata pemimpin upacara. “Siapa yang datang bersama dengan gemuruh bunyi senapan dan nyanyian hujan?”
Di ruai yang di-ancau tikar itu, seseorang yang asing berkata, “Tak ada!”
“Tak ada?”
“Ya, aku hanya dengar nyanyian hujan.”
“Itulah derap langkah kaki mereka!”

Anak tangga pertama menggertakkan bunyi. Langkah-langkah kaki telah menginjaknya. Perlahan, namun ada kekuatan. Bersamaan dengan raungan ganti-berganti senapan berbunyi. Sudah ditembakkan satu, diisi lagi, sedemikian rupa, sehingga pojok tangga ruai berbilang angka 19 itu mengepulkan asap putih. Aroma menebar ke segala penjuru, seperti asap dupa bergulung-gulung di udara.

Ucapan selamat datang menggema, menembus hingga jauh ke belantara. Hutan-hutan perawan yang belum, dan pasti tidak akan, dijamah apalagi diserahkan ke perusahaan sawit dan plywood. Hutan ini akan dijaga bukan hanya untuk tujuh keturunan, melainkan untuk selamanya, dan sebagian didaftarkan menjadi hutan adat.

Sekelompok orang berpakaian adat Iban, empat pasang laki dan perempuan, muncul dari arah matahari terbit. Gemulai langkah yang perempuan dan gagah yang laki-laki.

Seiring seirama mereka menyingkangkan kaki, mengepai-ngepaikan jari. Mereka memainkan tarian adat “Tingkak Tebang”, berputar-putar mengelilingi “serimpak” sebanyak 3 kali putaran. Meningkah, sekaligus menambah magis bunyi gong yang tiada hentinya.

Sesekali gerak tari seperti berhenti. Kiranya ada makhluk gaib menyusup. Mereka pun ikut menari, bersatu bersama sebagai saudara. Suasana magis perlahan sirna, ganti jadi tarian gembira. Para petinggi Kerajaan Buah Main bangkit berdiri, turut larut menari bersama dalam irama gendang yang bertalu-talu.

Setelah itu, semua berhenti. Tapi ada yang belum selesai, tarian tadi baru tarian sambut selamat datang, belum mempersilakan duduk. Maka gong-gong pun kembali dimainkan. Para penari, petinggi Kerajaan Buah Main, dan tamu alam gaib wajib menari sekali lagi, yakni Tarian Entaboh.

Pada langkah terakhir, semua berhenti. Lalu duduk bersila di atas tikar yang di-ancau, menghadap ke serimpak, yakni kayu dengan cabang-cabang dan rantingnya yang dibentuk seperti pohon natal di mana digantungkan segala bahan-bahan upacara, sesajen, juga kurban.
Di bawah serimpak, di atas lantai, tergeletak sebanyak 7 piring bersusun berisi beras yang dinamakan: perentang. Beras berasal dari padi, dan padi adalah kehidupan, sekaligus simbol kemakmuran bagi suku bangsa Iban.

Barangsiapa yang punya banyak padi bertumpuk di lumbung, ia kaya sekaligus panjang nyawa. Pada musim paceklik, ia wajib membagi-bagi nyawa itu kepada siapa saja yang memerlukan. Di waktu musim menugal, si kaya wajib meminjamkan benih padinya kepada yang memerlukan dan pinjaman itu akan dikembalikan 1,5 x lipat setelah panen. Nama kebiasaan ini adalah “nganak padi”, persis dalam perumpamaan tentang talenta.

Seorang penari perempuan, dengan tinggi badan sedang sekitar 164 cm, keluar dari lingkaran. Tubuhnya yang dibungkus kain tenun ikat dengan warna dominan merah dan hitam seakan telanjang. Tercetak di sana keindahan sempurna. Ia mengipas-ngipaskan kedua tapak tangan ke muka dan ke dada, sekujur tubuhnya bermandikan peluh. Ia menghela napas seakan berat. Kumang masuk ke dalam raganya.

Siapa Kumang?

KUMANG.

Siapa dia sebenarnya? Bagi yang baru mendengar namanya, atau yang masih asing di telinga, mudah saja menjelaskan siapa dia.

Kumang itu Dewi suku bangsa Iban. Dewi Sinta kaum yang populasinya sedunia itu mendekati 1,3 juta jiwa. Ia putri Bujang Sabalu Ngenang, sahabat dekat ayah Keling bernama Gemuring Gading, tuai rumah yang dikenal sakti mandraguna.

Kumang tinggal di rumah sepan, di-umbung (dipingit), tidak keluar rumah sampai haid pertama, jadi sekitar umur 13 tahun. Teman-teman sepermainannya, dan mereka biasa mandi bersama di penai, pemandian para bidadari, dengan hanya mengenakan kain yang dilucuti ketika masuk ke dalam air adalah Lulong dan Inai Abang.

Di sekitar rumah punjung tumbuh pusparagam bunga, salah satu yang paling indah dan bewarna cerah adalah bunga mandikmala. Kumang tiap menjelang bulan purnama mandi kembang tujuh warna, namun yang dominan dan membuat tubuhnya harum adalah saribunga mandikmala yang sehabis mandi tetap lekat di tubuhnya yang halus mulus. Sedangkan bunga tepus, sarinya diambil menjadi pencuci rambutnya, sehingga hitam pekat bagaikan mayang mengurai. Meski hitam lebat, rambut Kumang tetap halus dan lembut, melambai-lambai bagai kepai-kepai jari tertiup oleh angin ke mana pun arahnya.

Kaki Kumang panjang dan betisnya bagaikan padi bunting. Lengannya jenjang, tapi tidak berotot. Kukunya begitu lembut, rapi terawat bagaikan ujung garpu maharaja.
Adapun Keling, ia anak Gemuring Gading bergelar Bujang Simpang Gading Tanduk Kijang Kuning. Ibu Keling bernama Dayang Bemas Beredai, digelari Lemba Limbang Bulan Begantung. Sedangkan kakek Keling bernama Tambai Ciri Aka Ati Nabau Besirang. Saudara Keling adalah Kemping Padi yang meninggal waktu kecil, Dabung, dan saudara perempuannya bernama Kelindang Tambak Aping.

Keling dilukiskan sebagai pemuda tampan yang disukai gadis-gadis. Ketampanan dan kegagagahnya melebihi pemuda sebayanya, seperti: Bujang Legan, Bungai Nuing, Kemping Padi, Laja Lau Mua, Manggi (yang kemudian menikah dengan adik perempuannya), Pandak Segatak, Pinang Ipung, Puntang Medang, Renggan, dan Apai Miguk. Selengkapnya mengenai bala pangan sida Kumang dan Keling ini dikisahkan kemudian.
***

GADIS Iban yang kelelahan menari tadi menandai telah selesai menari bersama. Kini tamu undangan dari alam gaib duduk bersila bersama, menghadap sajian, menu hidangan tradisional suku bangsa Iban.

Pemimpin upacara komat kamit mulutnya membaca mantra yang dinyanyikan dengan leka main yang berikut ini:

Tuak dah ngangak, datai kitai temuai semak tu...
Ngirup aik pengayu tamah kami
Datai kitai dari jaoh,
ari menoa Panggau Ragai bintih langgai kempat tiang
Baka kaul Keling enggau raban bansa Iban......
Artinya:
Tuak telah dibuka, datanglah mendekat kemari tamu undangan yang terhormat
Minum tuak bersama dengan kami
Sebab kalian tlah datang dari jauh,
Dari daerah Panggau Ragai bintih langgai kempat tiang
Seperti janji Keling dengan suku bangsa Iban

Makan dan minum tuak haruslah bersama-sama, oleh sebab itu, tak seorang pun boleh mendahului tamu terhormat. Jika ada yang mendahului, pasti ketahuan.

“Ada ada saja pertanda yang diberikan dari alam gaib, entah makanan lekas menjadi basi, entah tanda alam lainnya,” jelas seorang ibu yang bertugas memasak di dapur.

Keling Kumang kembali ke langit, ke negeri yang disebut Panggau Libau Lendat Dibiau Takang Isang. Rumah panjang yang dilukiskan sehari burung enggang terbang, di mana hanya bilik Keling seluas 170 pintu rumah manusia biasa.

Senapan lantak kembali dimuntahkan mengiringi tamu dari alam gaib kembali ke langit. Ditingkah bunyi gendang bertalu-talu yang cepat dan makin lama makin lambat kemudian berhenti.

Para petinggi dan warga masih meneruskan pesta pora. Makan dan minum tuak dari tajau menggunakan pipa terbuat dari buluh bambu. Minum berdua, berpasang-pasangan, dan dihirup dalam waktu yang sama. Jumlah air tuak tetap di ketinggian leher tajau, ketahuan diminum berapa banyak, sebab gelas di tangan penimba siap menambahkan lagi dan lagi. Itulah yang dinamakan “tuak pamali”, harus diminum berpasang-pasangan.

Pemimpin upacara membuat tanda, mirip dengan tanda salib.
“Tuhan, Engkau pemilik semesta alam. Lindungi kami dan hasil pertanian kami, juga usaha kami, ya Tuhan! Semoga Engkau, yang mengutus Keling dan Kumang ke mari, selanjutnya mengutus dan menguduskan kami juga untuk melaksanakan tugas kami di dunia ini. Mampukanlah kami bekerja sesuai rencana dan kehendak-Mu!”

Semakin dekat siang, semakin jelas tanda-tanda yang diberikan Tuhan, pemilik sekaligus raja semesta alam yang Mahamurah. Berkat memang tidak lagi tercurah dari langit seperti roti manna yang jatuh di padang gurun dari surga, melainkan melalui tangan-tangan ibu-ibu dan para jurumasak di dapur. Semua tamu yang datang hari itu disuguhkan makan minum bersama.

Panji-panji kebesaran kerajaan Buah Main mulai terbentang dan berkibar ditiup angin ke segenap penjuru. Munaldus, bapak sekaligus pendiri CU Keling Kumang, menampakkan wajah teduh bagai aliran sungai Kapuas di musim hujan. Terbayang di matanya semua peristiwa yang sudah berjalan selama 27 tahun yang silam. Namun, di antara wajah teduh itu terbayang wajah ayahnya yang telah tiada, Markus Nerang dan ibunda yang juga sudah tiada, Theresia In’a.

Saya di sela-sela upacara Ngumbai Keling Kumang.
Lambat laun wajah teduh itu menerawang jauh, seakan subuh menjatuhkan butir-butir air hujan. Seandainya? Ya, seandainya kedua orangtua itu masih hidup dan bisa menyaksikan semuanya ini?

Tak ada air mata. Itu hanya leka nyanyian hujan. Ia yang berkuliah, dan meraih gelar master pendidikan matematika di Amerika, mafhum betul syair lagu Hank Thomson ini, 

“Tears are only r

ain to make love grow.”
Ya, air mata hanya butir hujan yang membuat cinta sehijau kemarau dan makin tumbuh subur”. 

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar
Cancel